Perkembangan, Dampak Globalisasi, serta Permasalahan dalam belajar bahasa Indonesia
Perkembangan, Dampak Globalisasi serta Permasalahan PBI
(Pembelajaran Bahasa Indonesia)
A. Perkembangan PBI
Pembelajaran Bahasa Indonesia (PBI)
bagi bangsa Indonesia melalui pendidikan formal secara yudiris tidak pernah
berubah statusnya karena terikat oleh UUD 1945. Meskipun demikian, PBI pernah
dimarginalkan oleh program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) maupun
Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Karena, dalam RSBI dan SBI berusaha
mensubordinasi PBI dari pembelajaran bahasa inggris.
Undang-undang yang berada di bawah
UUD 1945,yaitu UU Sikdiknas 2003 juga tidak ada satu pasal pun yang menyinggung
permaginalan PBI. Namun, dalam buku penjaminan mutu pendidikan (2007) justru
kedudukan PBI di sekolah RSBI maupun SBI, karena kegiatan belajar mengajarnya
menggunakan bilingual. Sebenarnya sekolah bilingual tidak ada masalah asal
tetap menempatkan PBI sebagai bahasa pengantar utama. Namun di sekolah RSBI dan
SBI justru membuat ketentuan, pada tahun pertama bahasa pengantar di RSBI
maupun SBI yang digunakan 25% bahasa inggris dan 75% bahasa Indonesia. Pada
tahun kedua bahasa pengantarnya 50% bahasa inggris dan 50% bahasa Indonesia.
Pada tahun ketiga, bahasa pengantarnya 75% bahasa inggris dan 25% bahasa
Indonesia. Kebijakan seperti itu sanggat bertentangan dengan UUD1945 dan UU
Sikdiknas 2003.
Dengan kondisi PBI seperti itu,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan kehilangan orientasi dan melupakan amanat
UUD 1945 dan UU Sikdiknas. Akibatnya, pendidikan di Indonesia berada di
persimpangan jalan. Di satu sisi, bangsa Indonesia ingin memperkuat karakter
bangsa agar memiliki kepribadian Indonesia, seperti rasa nasionalisme, semangat
kebangsaan, percaya diri, jujur, bertangung jawab, disiplin, dan sebagainya. di
sisi lain, RSBI dan SBI terperosok dan tertelan globalisasi. Seakan-akan, globalisasi
diinterpretasi sebagai bangsa yang mampu berbahasa Inggris atau bahasa Internasional
lain. Potret bangsa dan Negara yang mampu mengglobal dan dijadikan cermin
(orientasi) adalah negara barat yang maju, seperti Amerika, Inggris, German.
Bahkan, demi globalisai, Depdikbud
tega mengorbankan pembentuk jati diri bangsa dengan mengorbankan PBI di RSBI
dan SBI. Untung, sejak 8 januari 2013 Mahkama Konstitusi (MK) membatalkan RSBI
dan SBI. Jika RSBI dan SBI berlarut-larut dan tidak dibatalkan, kedudukan PBI
di sekolah lama-kelamaan akan ditinggalkan oleh bangsa Indonesia sendiri hanya
demi alasan Internasionalisasi.
B. Dampak globalisasi terhadap pembelajaran BI
Globalisasi adalah
proses menuju keutuhan atau satu kesatuan dunia sebagai akibat perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Pembelajaran bahasa Indonesia (BI) tidak dapat
terlepas dari era globalisasi. Bahasa Indonesia (BI) secara politis memang
milik bangsa Indonesia. Namun, secara fungsional milik seluruh warga Negara
dunia yang mau menaruh perhatian terhadap BI. Perhatian itu ada yang diwujudkan
dalam bentuk mempelajari agar dapat menguasai BI, ada yang mempelajari untuk
mengkaji aspek-aspek kehidupan lain yang didukung oleh BI.
Perkembangan
teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi, dunia tidak lagi
terpisah-pisah oleh batas suatu daerah atau Negara. Batas daerah atau Negara
hanyalah batas administrative karena sesungguhnya satu sama lain sudah
terhubungkan oleh alat komunikasi, alat transportasi, dan alat penyampai
informasi. Dengan yang terjadi di belahan bumi manapun begitu cepatnya dapat
diakses oleh masyarakat di belahan bumi lain. Keinginan seseorang untuk
menyampaikan maksud kepada orang lain begitu mudah disampaikan pada saat itu
juga karena alat komunikasi semakin canggih. Keinginan bepergian dari satu
tempat ke tempat yang lain juga begitu mudah dan cepat sehingga tidak perlu
membuang waktu terlalu lama karena alat transportasi semakin cepat.
Karena
perkembangan teknologi seperti itu, suatu bangsa yang ingin mempertahankan diri
sebagai bangsa yang mandiri dan beradap tidak ada cara lain kecuali harus
mempertahankan nilai-nilai luhur yang berkembang dan dipelihara oleh bangsa itu
agar tidak tergerus arus globalisasi. Nilai-nilai luhur yang dimaksud adalah
bahasa, adat-istiadat, dan kebudayaan yang hidup dan dipelihara oleh bangsa
itu. Bagi bangsa Indonesia telah memiliki bahasa Indonesia, bahasa daerah, serta
sebagai adat dan kebiasaan yang hidup dan dipelihara oleh masyarakatnya. Begitu
juga, bangsa Indonesia telah memiliki kebudayaan Indonesia yang perlu terus
dikembangkan agar dapat menjadi ciri penanda sebagai bangsa Indonesia.
Alvin Toffler
(1997) mengatakan bahwa peradaban manusia saat ini memasuki peradaban gelombang
tiga, yaitu peradaban informasi sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Pada gelombang ketiga, siapa yang menguasai teknologi informasi,
merekalah yang dapat “menguasai dunia”. Trilogy peradaban gelombang tiga adalah
kemajuan teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi.
Memasuk gelombang
tiga banyak orang yang merasa cemas dan ketakutan. Mereka sering berfikir bahwa
di era global seakan-akan tidak ada lagi jati diri yang khas suatu bangsa,
tidak ada semangat nasionalisme, dan bahkan ciri-ciri local yang bersifat
etnisitas seakan tergilas oleh globalisasi. Sikap demikian cenderung disertai sikap
defensive dan tidak mampu berfikir futuratif, adaptif dan akomodatif. Riak-riak
kecil dari globalisasi dibesar-besarkan untuk mencari pembenaran bahwa era
globalisasi membahayakan manusia. Orang yang mencoba menghadang laju
globalisasi seperti itu, ibarat menghadang lahar dingin atau gelombang tsunami.
Mereka pasti akan ditelan arus deras globalisasi.
Setiap orang dalam
menghadapi era globalisasi justru harus berfikir futuratif, jernih dan
mengambil sikap arif agar dapat memilih alternative kehidupan yang tepat. Di
tengah-tengah derasnya globalisasi yang segala tampak kosmopolit, megapolit, postmo, dan instan, pada suatu saat akan
terjadi paradoks. Manusia pasti rindu pada yang kecil, khas, unik, tradisional,
tetapi memiliki jati diri. Peringatan Toffler itulah yang seharusnya dijadikan
pengangan oleh bangsa Indonesia untuk tetap mempertahankan PBI di sekolah
sebagai bahasa pengantar pendidikan.
Hal serupa juga
dikemukakan oleh John Naisbitt (1994) dalam bukunya Mega Trends 2000 Global Paradox. John Naisbitt menyatakan bahwa di
era globalisasi justru akan timbul paradoks. Dalam bidang ekonomi, ”semakin
besar dan semakin terbuka ekonomi dunia, justru dominasi ekonomi akan dipegang
oleh perusahaan kecil dan menegah”.
Di sisi lain, John
Naisbitt mengemukakan bahwa “semakin kita menjadi universal, tindakan kita
semakin bersifat kesukuan, dan bersifat lokal”. Karena era globalisasi penuh
dengan paradoks, hendaknya kita segera bersiap-siap untuk menggali potensi diri
yang dimiliki agar dapat terus hidup berdampingan dengan era yang terus
berubah.
Kita sebagai
bangsa Indonesia memang masih sulit untuk berkompetisi dengan Negara-negara
maju. Namun, bukan berarti kita harus jadi penonton atau bahkan ditelan era
global. Sekecil apapun yang kita miliki sesungguhnya kita mampu menjadi
penyeimbang kemajuan zaman. Sejalan dengan pikiran John Naisbitt, kita harus
bangkit dengan bekal yang kita miliki. Biarkan bangsa lain berkompetisi dengan
hal-hal canggih. Kita sebaiknya bertindak tentang hal-hal kecil yang bersifat local,
tetapi dalam berfikir harus berpikir global agar dapat menjadi penyeimbang
Negara-negara maju. Karena itulah, sikap yang kritis, arif, dan futuratif yang
perlu diambil adalah sikap “glokalisasi”.
Kita memang harus
berpikir global jika tidak ingin tergilas oleh peradaban postmodern, tetapi tindakan kita harus bersifat local sesuai dengan
kemampuan dan kemajuan bangsa Indonesia. Tindakan kongkret yang dapat kita
lakukan untuk menjadi penyeimbang Negara maju adalah “mengambil sikap terhadap
peran dan perkembangan bahasa Indonesia”.
Bahasa Indonesia
(BI) memang belum seberapa karena bahasa yang besar adalah milik bangsa yang
besar. Namun, kita harus akui bahwa BI bagi bangsa Indonesia merupakan bahasa
yang besar karena dipakai oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Apalagi secara
politis kedudukan BI sudah sangat kuat. BI sebagai bahasa nasional, sebagai
bahasa resmi Negara, dan sebagai pembentuk kepribadian bangsa.
Kekhasan yang
dimiliki oleh BI adalah system bahasanya yang sederhana sehingga mudah di pelajari
oleh bangsa lain. BI menjadi pendukung kebudayaan Indonesia yang tersebar
diberbagai etnis yang ada di Indonesia. BI merupakan adalah jati diri bangsa,
bangsa lain sangat sulit mengenali jati diri bangsa Indonesia jika tidak
menguasai BI.
C. Permasalahan BI dan pembelajarannya
a. Permasalahan
BI
Tanggal 28 Oktober 1928 dianggap sebagai “hari
lahirnya” bahasa Indonesia. Pertumbuhan
dan perkembangan BI selanjutnya tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial,
ekonomi, politik, dan budaya pada zamannya. Bahasa Melayu dialek Riau adalah
embrionya BI. Bahasa Indonesia lahir normal tanpa operasi Caesar setelah
bertahun-tahun ada dalam kandungan para pejuang republiken yang menginginkan terbentuknya satu Negara baru yang
disebut NKRI. Namun, karena lahirnya dalam masa perjuangan, dan posisi Belanda
sebagai penjajah masih cukup kuat pada saat itu, pertumbuhan BI mengalami
pasang surut. Pada masa kelahirannya, BI disebut dengan hingar-bingar para
tokoh nasionalis. Namun, diantara masyarakat Indonesia sendiri masih banyak
yang lebih bangga menggunakan bahasa Belanda.
Kelahiran BI adalah kehendak zaman. Para pejuang terus
bergerak dan mengobarkan semangat ke seluruh penjuru tanah air. Karena sebagian
besar masyarakat masih berkomunikasi menggunakan bahasa daerah, dan sedikit
saja yang mampu berbahasa Belanda, hadirnya bahasa Indonesia (bahasa Melayu
dialek Riau saat itu) menjadi sarana komunikasi yang paling mungkin untuk dapat
menghubungkan etnis satu dengan etnis lain di kawasan Nusantara. Kebetulan,
bahasa Melayu dialek Riau sudah menjadi LINGUA FRANCA bagi etnis di Nusantara
untuk keperluan perdagangan.
Namun, dalam pertumbuhan dan perkembangannya, BI
menghadapi banyak hambatan. Penjajah Belanda melarang pemakaian BI untuk
pendidikan. Segala hal yang berurusan dengan pemerintahan harus dilakukan
menggunakan bahasa Belanda. Karena kondisi seperti itu, sebagian masyarakat
Indonesia pun berpikir jika ingin memiliki status sosial tinggi, dan daya saing
ekonomi yang kuat harus menguasai bahasa Belanda. BI seakan tidak memiliki
harapan untuk menjadi “priyayi”.
Seperti dikatakan diatas, lahirnya BI memang sudah
kehendak zaman. Ketika belanda hengkang dari Indonesia dan berganti dengan
datangnya “saudara tua” yang menjajah Indonesia, pemerintah jepang melarang
pemakaian bahasa belanda. Pendidikan harus menggunakan bahasa pengantar BI.
Ketika itu, sebagian masyarakat Indonesia meragukan
kemampuan bahasa Indonesia menjadi bahasa ilmu pengetahuan, termasuk kaum
cendikiawannya. Namun, jepang mampu memaksakan orang Indonesia menggunakan bahasa
Indonesia dan menjadikan BI semakin populer dan semakin diperhatikan
pemakainya.
Lama-kelamaan, BI mampu membuktikan diri bahwa BI
tidak kurang mutunya dibandingkan bahasa asing lainnya dan mengalami
perkembangan sebagai bahasa yang hidup. Dan benar, apa yang dikatakan oleh
Fishman (1990) bahwa tidak ada bahasa di muka bumi ini yang lebih baik atau
lebih buruk dari bahasa lain bagi pemilik dan penutur bahasanya. Jika kadang BI
belum mampu mengungkapkan pikiran yang rumit dan kompleks, bukan karena BI
tidak mampu mewadahi pikiran yang rumit dan kompleks, tetapi karena ilmu
pengetahuan dan teknologi belum berkembang dengan baik sehingga menjadi
kelemahan BI yang merupakan cermin dari lemahnya ilmuwan Indonesia yang belum
melakukan pengembangan.
BI telah berkembang menjadi bahasa besar sejajar
dengan bahasa-bahasa besar lain di dunia. Hal ini dapat dilihat dari aspek
internal dan aspek eksternal. Perkembangan
aspek internal, BI sudah memiliki system dan kaidah yang mapan. BI sudah
memiliki pedoman ejaan yang disempurnakan, tata bahasa baku, kamus besar BI,
pedoman pembentukan istilah. Yang belum berhasil di bakukan adalah kaidah
pelafalan kata. Fungsi BI juga semakin kokoh, baik sebagai alat komunikasi
antar etnis dalam kehidupan sehari-hari, maupaun alat komunikasi formal untuk
kepentingan kenegaraan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, pembuatan
undang-undang dan sebagainya.
Perkembangan
aspek eksternal, BI adalah bahasa
yang terbuka. Artinya, BI mau dan mampu mengakomodasi kata, istilah, idiom dari
bahasa lain (baik bahasa daerah maupun bahasa asing) untuk mengembangkan
dirinya secara lebih luas. Fungsi BI secara eksternal juga telah menunjukkan
perkembangan yang menggembirakan. Rasa ketertarikan bangsa lain untuk
menggunakan BI semakin besar (meskipun mengalami pasang surut).
pasang surutnya ketertarikan bangsa lain untuk
mempelajari dan menggunakan BI sebagai alat komunikasi internasional berkaitan
erat dengan masalah politik, ekonomi, keamanan, dan kebudayaan.
1)
Masalah
politik
Masalah
politik mengakibatkan hubungan bangsa Indonesia dengan bangsa lain terganggu,
misalnya hubungan Indonesia dan Australia mengalami pasang surut. Hubungan
Indonesia – Australia pernah meregang ketika muncul masalah Timor Timur
sampai terbentuknya Negara Timur Leste karena dukungan yang diberikan
Australia terhadap pejuang Timur Leste untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Begitu
juga, hubungan Indonesia – Malaysia karena masalah batas wilayah (Simpadan dan
Ligitan, masalah Ambalat), dan klaim Malaysia terhadap kesenian rakyat
Indonesia.
2)
Masalah
ekonomi
Masalah
ekonomi juga menjadi salah satu penyebab pasang surutnya ketertarikan bangsa
lain untuk mempelajari BI. Ketika perkembangan ekonomi Indonesia membaik,
banyak bangsa lain yang ingin berinvestasi di Indonesia sehingga memerlukan BI
sebagai alat komunikasi untuk melakukan transaksi bisnis. Pada saat itu minat
belajar BI meningkat pesat, bahkan universitas di Negara maju banyak yang
membuka jurusan BI.
Namun,
ketika kondisi ekonomi Indonesia merosot, bangsa lain berfikir ulang “apa untungnya mempelajari BI?”. Akibat
buruk perkembangan ekonomi tidak kondusif, banyak lembaga pembelajaran BI
ditutup, karena tidak ada lagi peminat.
3)
Masalah
keamanan
Keamanan
merupakan factor penting mengapa bangsa lain tidak tertarik untuk mempelajari
BI. Banyaknya terorisme yang terjadi di Indonesia dan mengancam keselamatan
bangsa lain (khususnya Australia, Amerika, Inggris, Prancis, atau bangsa barat
lainnya ) mengakibatkan muncul larangan bangsa lain terhadap warganya untuk
mengunjungi Indonesia. Dengan demikian, bangsa lain yang ingin mempelajari BI
menjadi berkurang.
4)
Masalah
kebudayaan
Masalah
budaya dapat menyebabkan bangsa lain tertarik untuk mempelajari BI. Karena
Indonesia begitu banyak memiliki kekhasan budaya yang tersebar diberbagai
etnis, seperti: bahasa, tari-tarian, kesenian, alat music, makanan, upacara
adat, dan banyak lainnya. Hal seperti itulah yang cari oleh bangsa lain yang
mulai jenuh dengan globalisasi.
Namun,
usaha pelestarian bahasa dan budaya daerah tidak dilakukan secara serius.
Mereka malah terkagum-kagum dengan budaya barat. Akibatnya, mereka banyak yang
tidak tertarik datang ke Indonesia untuk mempelajari bahasa dan budaya karena
bangsa Indonesia sendiri kurang menghargai budaya bangsanya sendiri.
b. Permasalahan
PBI
Ada
dua aspek penting dalam pembelajaran BI, yaitu 1) siapa yang belajar, dan 2)
bagaimana mengajarkannya.
1)
Siapa
yang belajar?
Berkaitan
dengan siapa yang belajar, pembelajar BI menyangkut dua pihak, yaitu warga
Negara Indonesia dan warga negara asing. Warga Negara Indonesia sudah
dipersiapkan mempelajari BI melalui pendidikan formal di sekolah. Kurikulum
secara formal yang telah diterapkan di Indonesia untuk pendidikan ialah
kurikulum 1968, 1975, 1984, 1994, dan KTSP 2006. Pada 2013 mulai menggunakan
kurikulum baru yang disebut “Kurikulum 2013”.
Tidak
sedikit warga Negara asing yang
ingin menguasai BI. Mereka ada yang belajar BI di negerinya sendiri melalui
lembaga pendidikan formal maupun lembaga kursus, dan ada pula yang secara
langsung datang ke Indonesia untuk belajar di lembaga-lembaga kursus atau
mengikuti pembelajaran di sekolah atau bahkan universitas.
Bagi
mereka yang belajar BI melalui kursus biasanya mereka adalah pembelajar pemula
yang ingin menguasai BI yang kemudian dimenfaatkan untuk mempelajari bidang
ilmu tertentu atau bekerja di Indonesia. Dan ada juga yang mempelajari BI
karena mereka ingin menguasai BI untuk jadi guru BI di negerinya.
2)
Bagaimana
mengajarkan BI?
a.
Masalah
pendekatan pembelajaran BI
Ada
dua macam pendekatan penting dalam pembelajaran BI, yaitu pendekatan psikologis dan pendekatan
linguistis.
Sejalan
dengan perkembangan ilmu psikologi, pembelajaran BI dewasa ini memanfaatkan
pendekatan psikologi konstuktivisme yang berasumsi bahwa setiap anak mampu mengkonstruksi
kebenaran berdasarkan perkembangan pikirannya sendiri.
Atas
dasar asumsi itu, peranan guru mulai bergeser dari sebagai “sebagai belajar” ke
“fasilitator”. Ketiga sedang belajar ber- BI, anak diberi keleluasaan untuk
belajar menggunakan BI dalam berbagai fungsi, seperti belajar menulis surat,
menulis iklan; memperkenalkan diri dihadapan orang lain, berdiskusi, wawancara,
berpidato, dan sebagainya. Guru tidak memaksakan kehendak agar anak mempelajari
seperti yang diinginkan oleh guru. Guru lebih tepat jika pada awal proses
pembelajaran menggunakan pendekatan psikologi behaviorisme (Skinner,1933).
Skinner berasumsi bahwa kebiasaan berbahasa anak ditumbuhkan melalui proses
stimulus-respons. Model rangsang-tanggap untuk memperbanyak kosakata dan struktur
kalimat. Setelah itu bergeser ke pendekatan kognitif. Pendekatan kognitif
(Piaget, 1959) berasumsi bahwa pembelajaran bahasa harus dilakukan atas dasar
perkembangan kognisi pembelajar, ada 4 tahap yaitu: (a) masa sensori (b) masa
praoprasional (c) masa oprasi kongkret (d) masa orasi formal. Setelah mahir
ber-BI, guru mulai melakukan pendekatan konstruktivisme. Pembelajar secara
perlahan di berikan kesempatan untuk membangun kebenaran ber-BI berdasarkan perkembangan pemikiran
mereka.
Pendekatan linguistic yang digunakan dalam pembelajaran BI
adalah pendekatan komunikatif. Pendekatan komunikatif sebenanya berakar pada
teori pragmatik dalam arti bahasa yang harus dipelajari adalah bahasa yang
berguna atau bermanfaat. Bahasa yang berguna dan bermanfaat adlah bahasa yang
digunakan dalam berkomunikasi. Itulah hakikat pendekatan komunikatif.
b.
Masalah
materi pembelajaran
Sesuai
dengan pendekatan komunikatif yang digunakan, materi yang harus diajarkan
adalah materi berkomunikasi dengan memperhatikan kaidah bahasa.
Dalam
pemberian materi guru perlu melakukan seleksi atau pemilihan yang sesuai dengan
perkembangan pikiran pembelajar. Materi dpat diambil dari berita surat kabar,
label pada obat atau makanan, table-tabel, diagram, rekaman wawancara, dan
sebagainya .
Setelah
materi pembelajaran dipilih, guru harus melakukan perjenjangan (grading) materi. Seperti materi yang
cocok untuk pembelajar pemula (elementary),
menengah (intermediate), dan
pembelajar advance (lanjut). Materi
pembelajaran BI belum ada disusun berdasarkan perkembangan belajar pembelajar.
Buku-buku
pembelajaran BI untuk SD materinya banyak yang sama dengan materi pembelajaran
di SMP kadang-kadang diajarkan pula di SMA. Lebih tragis lagi, materi
pembelajaran yang harusnya di berikan di SMA daiajarkan di SD.
Kondisi
seperti itu (belum adanya penjenjangan materi), pembelajaran BI untuk orang
asing akan sangat kesulitan untuk memanfaatkan buku pelajaran BI yang ada bagi
penutur asli.
Solussi
terbaiknya, penjenjangan materi harus ditulis terlebih dahulu sebelum menulis
buku teks, baik untuk keterampilan menyimak, berbicara, membaca, maupun
menulis. Misalanya, jumlah kosakata yang harus dikuasai oleh pembelajar SD,
SMP, dan SMA untuk masing-masing keterampilan berbahasa. Dengan diketahuinya
jumlah kosakatsa yang harus diketehui oleh pembelajar setiap jenjangnya dapat
dipakai untuk membuat perjenjangan materi untuk aspek keterampilan berbahasa.
Penyajian
materi pembelajaran dikelas juga harus mendapat perhatian khusus. Jika dalam
penyajian materi di kelas peranan ideal guru 30% dan 70% pembelajar, tidak
berarti setiap jenjang harus begitu. Untuk pembelajar SMA sebaiknya peranan
guru di kelas cukup 30% dan aktifitas belajar pembelajar 70%. Sebaliknya, tidak
untuk SD atau level elementary, yang
membutuhkan peranan guru lebih besar.
c.
Masalah
metode pembelajaran
Pemebelajaran
BI sudah menerapkan metode belajar kreatif. Artinya, pembelajar diberi
kesempatan seluas-luasnya agar dapat berkreasi dalam belajar. Pada tahap awal
guru perlu memberikan model pembelajaran. Jika dengan model seperti itu
pembelajar sudah mampu belajar dengan baik, guru dapat meningkatkan model
pembelajaran yang lebih rumit.
d.
Masalah
media pembelajaran BI
Di
era globalisasi ini, perkembangan teknologi informasi sudah sangat maju. Dengan
adanya media informasi, pembelajaran BI dapat memanfaatkan teknologi tersebut
sebagai media pembelajaran. Menggunakan multimedia sebagai alat pembelajar
sangat menyenangkan dan tidak membuat tertekan, karena dapat belajar serta
bermain.
Bagi
guru yang belum mampu menciptakan media yang bersifat audiovisual, dapat
memanfaatkan rekaman TV atau mengunduh dari internet. Namun, harus disadari
bahwa multimedia belum mampu dijangkau oleh seluruh rakyat Indonesia. Masih
banyak wilayah yang belum memiliki fasilitas listrik, internet, dan computer
sehingga sulit untuk diterapkan.
Salah
satu cara untuk mengatasi hal tersebut konteks sosial budaya dapat
dimanfaatkan. Contohnya “tokoh wayang
kulit”, walaupun seperti itu tidak perlu merasa terbelakang karena yang paling
penting adalah keberhasilan belajar pembelajar.
sumber: Pranowo. 2014. Teori Belajar Bahasa untuk Guru Bahasa dan Mahasiswa Jurusan Bahasa.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
"Assalamualaikum .... terima kasih sudah mampir di blog saya. salam kenal, ini postingan pertama saya mohon maaf kalau banyak salah karna harus lebih banyak belajar."
Komentar
Posting Komentar