Perkembangan, Dampak Globalisasi, serta Permasalahan dalam belajar bahasa Indonesia


Perkembangan, Dampak Globalisasi serta Permasalahan PBI
(Pembelajaran Bahasa Indonesia)


A.    Perkembangan PBI 


Pembelajaran Bahasa Indonesia (PBI) bagi bangsa Indonesia melalui pendidikan formal secara yudiris tidak pernah berubah statusnya karena terikat oleh UUD 1945. Meskipun demikian, PBI pernah dimarginalkan oleh program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) maupun Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Karena, dalam RSBI dan SBI berusaha mensubordinasi PBI dari pembelajaran bahasa inggris.

Undang-undang yang berada di bawah UUD 1945,yaitu UU Sikdiknas 2003 juga tidak ada satu pasal pun yang menyinggung permaginalan PBI. Namun, dalam buku penjaminan mutu pendidikan (2007) justru kedudukan PBI di sekolah RSBI maupun SBI, karena kegiatan belajar mengajarnya menggunakan bilingual. Sebenarnya sekolah bilingual tidak ada masalah asal tetap menempatkan PBI sebagai bahasa pengantar utama. Namun di sekolah RSBI dan SBI justru membuat ketentuan, pada tahun pertama bahasa pengantar di RSBI maupun SBI yang digunakan 25% bahasa inggris dan 75% bahasa Indonesia. Pada tahun kedua bahasa pengantarnya 50% bahasa inggris dan 50% bahasa Indonesia. Pada tahun ketiga, bahasa pengantarnya 75% bahasa inggris dan 25% bahasa Indonesia. Kebijakan seperti itu sanggat bertentangan dengan UUD1945 dan UU Sikdiknas 2003.

Dengan kondisi PBI seperti itu, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan kehilangan orientasi dan melupakan amanat UUD 1945 dan UU Sikdiknas. Akibatnya, pendidikan di Indonesia berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, bangsa Indonesia ingin memperkuat karakter bangsa agar memiliki kepribadian Indonesia, seperti rasa nasionalisme, semangat kebangsaan, percaya diri, jujur, bertangung jawab, disiplin, dan sebagainya. di sisi lain, RSBI dan SBI terperosok dan tertelan globalisasi. Seakan-akan, globalisasi diinterpretasi sebagai bangsa yang mampu berbahasa Inggris atau bahasa Internasional lain. Potret bangsa dan Negara yang mampu mengglobal dan dijadikan cermin (orientasi) adalah negara barat yang maju, seperti Amerika, Inggris, German.

Bahkan, demi globalisai, Depdikbud tega mengorbankan pembentuk jati diri bangsa dengan mengorbankan PBI di RSBI dan SBI. Untung, sejak 8 januari 2013 Mahkama Konstitusi (MK) membatalkan RSBI dan SBI. Jika RSBI dan SBI berlarut-larut dan tidak dibatalkan, kedudukan PBI di sekolah lama-kelamaan akan ditinggalkan oleh bangsa Indonesia sendiri hanya demi alasan Internasionalisasi.

B.     Dampak globalisasi terhadap pembelajaran BI


Globalisasi adalah proses menuju keutuhan atau satu kesatuan dunia sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pembelajaran bahasa Indonesia (BI) tidak dapat terlepas dari era globalisasi. Bahasa Indonesia (BI) secara politis memang milik bangsa Indonesia. Namun, secara fungsional milik seluruh warga Negara dunia yang mau menaruh perhatian terhadap BI. Perhatian itu ada yang diwujudkan dalam bentuk mempelajari agar dapat menguasai BI, ada yang mempelajari untuk mengkaji aspek-aspek kehidupan lain yang didukung oleh BI.

Perkembangan teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi, dunia tidak lagi terpisah-pisah oleh batas suatu daerah atau Negara. Batas daerah atau Negara hanyalah batas administrative karena sesungguhnya satu sama lain sudah terhubungkan oleh alat komunikasi, alat transportasi, dan alat penyampai informasi. Dengan yang terjadi di belahan bumi manapun begitu cepatnya dapat diakses oleh masyarakat di belahan bumi lain. Keinginan seseorang untuk menyampaikan maksud kepada orang lain begitu mudah disampaikan pada saat itu juga karena alat komunikasi semakin canggih. Keinginan bepergian dari satu tempat ke tempat yang lain juga begitu mudah dan cepat sehingga tidak perlu membuang waktu terlalu lama karena alat transportasi semakin cepat.

Karena perkembangan teknologi seperti itu, suatu bangsa yang ingin mempertahankan diri sebagai bangsa yang mandiri dan beradap tidak ada cara lain kecuali harus mempertahankan nilai-nilai luhur yang berkembang dan dipelihara oleh bangsa itu agar tidak tergerus arus globalisasi. Nilai-nilai luhur yang dimaksud adalah bahasa, adat-istiadat, dan kebudayaan yang hidup dan dipelihara oleh bangsa itu. Bagi bangsa Indonesia telah memiliki bahasa Indonesia, bahasa daerah, serta sebagai adat dan kebiasaan yang hidup dan dipelihara oleh masyarakatnya. Begitu juga, bangsa Indonesia telah memiliki kebudayaan Indonesia yang perlu terus dikembangkan agar dapat menjadi ciri penanda sebagai bangsa Indonesia.

Alvin Toffler (1997) mengatakan bahwa peradaban manusia saat ini memasuki peradaban gelombang tiga, yaitu peradaban informasi sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada gelombang ketiga, siapa yang menguasai teknologi informasi, merekalah yang dapat “menguasai dunia”. Trilogy peradaban gelombang tiga adalah kemajuan teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi.

Memasuk gelombang tiga banyak orang yang merasa cemas dan ketakutan. Mereka sering berfikir bahwa di era global seakan-akan tidak ada lagi jati diri yang khas suatu bangsa, tidak ada semangat nasionalisme, dan bahkan ciri-ciri local yang bersifat etnisitas seakan tergilas oleh globalisasi. Sikap demikian cenderung disertai sikap defensive dan tidak mampu berfikir futuratif, adaptif dan akomodatif. Riak-riak kecil dari globalisasi dibesar-besarkan untuk mencari pembenaran bahwa era globalisasi membahayakan manusia. Orang yang mencoba menghadang laju globalisasi seperti itu, ibarat menghadang lahar dingin atau gelombang tsunami. Mereka pasti akan ditelan arus deras globalisasi.

Setiap orang dalam menghadapi era globalisasi justru harus berfikir futuratif, jernih dan mengambil sikap arif agar dapat memilih alternative kehidupan yang tepat. Di tengah-tengah derasnya globalisasi yang segala tampak kosmopolit, megapolit, postmo, dan instan, pada suatu saat akan terjadi paradoks. Manusia pasti rindu pada yang kecil, khas, unik, tradisional, tetapi memiliki jati diri. Peringatan Toffler itulah yang seharusnya dijadikan pengangan oleh bangsa Indonesia untuk tetap mempertahankan PBI di sekolah sebagai bahasa pengantar pendidikan.

Hal serupa juga dikemukakan oleh John Naisbitt (1994) dalam bukunya Mega Trends 2000 Global Paradox. John Naisbitt menyatakan bahwa di era globalisasi justru akan timbul paradoks. Dalam bidang ekonomi, ”semakin besar dan semakin terbuka ekonomi dunia, justru dominasi ekonomi akan dipegang oleh perusahaan kecil dan menegah”.

Di sisi lain, John Naisbitt mengemukakan bahwa “semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin bersifat kesukuan, dan bersifat lokal”. Karena era globalisasi penuh dengan paradoks, hendaknya kita segera bersiap-siap untuk menggali potensi diri yang dimiliki agar dapat terus hidup berdampingan dengan era yang terus berubah.

Kita sebagai bangsa Indonesia memang masih sulit untuk berkompetisi dengan Negara-negara maju. Namun, bukan berarti kita harus jadi penonton atau bahkan ditelan era global. Sekecil apapun yang kita miliki sesungguhnya kita mampu menjadi penyeimbang kemajuan zaman. Sejalan dengan pikiran John Naisbitt, kita harus bangkit dengan bekal yang kita miliki. Biarkan bangsa lain berkompetisi dengan hal-hal canggih. Kita sebaiknya bertindak tentang hal-hal kecil yang bersifat local, tetapi dalam berfikir harus berpikir global agar dapat menjadi penyeimbang Negara-negara maju. Karena itulah, sikap yang kritis, arif, dan futuratif yang perlu diambil adalah sikap “glokalisasi”.

Kita memang harus berpikir global jika tidak ingin tergilas oleh peradaban postmodern, tetapi tindakan kita harus bersifat local sesuai dengan kemampuan dan kemajuan bangsa Indonesia. Tindakan kongkret yang dapat kita lakukan untuk menjadi penyeimbang Negara maju adalah “mengambil sikap terhadap peran dan perkembangan bahasa Indonesia”.

Bahasa Indonesia (BI) memang belum seberapa karena bahasa yang besar adalah milik bangsa yang besar. Namun, kita harus akui bahwa BI bagi bangsa Indonesia merupakan bahasa yang besar karena dipakai oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Apalagi secara politis kedudukan BI sudah sangat kuat. BI sebagai bahasa nasional, sebagai bahasa resmi Negara, dan sebagai pembentuk kepribadian bangsa.

Kekhasan yang dimiliki oleh BI adalah system bahasanya yang sederhana sehingga mudah di pelajari oleh bangsa lain. BI menjadi pendukung kebudayaan Indonesia yang tersebar diberbagai etnis yang ada di Indonesia. BI merupakan adalah jati diri bangsa, bangsa lain sangat sulit mengenali jati diri bangsa Indonesia jika tidak menguasai BI.

C.    Permasalahan BI dan pembelajarannya


a.      Permasalahan BI

Tanggal 28 Oktober 1928 dianggap sebagai “hari lahirnya”  bahasa Indonesia. Pertumbuhan dan perkembangan BI selanjutnya tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya pada zamannya. Bahasa Melayu dialek Riau adalah embrionya BI. Bahasa Indonesia lahir normal tanpa operasi Caesar setelah bertahun-tahun ada dalam kandungan para pejuang republiken yang menginginkan terbentuknya satu Negara baru yang disebut NKRI. Namun, karena lahirnya dalam masa perjuangan, dan posisi Belanda sebagai penjajah masih cukup kuat pada saat itu, pertumbuhan BI mengalami pasang surut. Pada masa kelahirannya, BI disebut dengan hingar-bingar para tokoh nasionalis. Namun, diantara masyarakat Indonesia sendiri masih banyak yang lebih bangga menggunakan bahasa Belanda.

Kelahiran BI adalah kehendak zaman. Para pejuang terus bergerak dan mengobarkan semangat ke seluruh penjuru tanah air. Karena sebagian besar masyarakat masih berkomunikasi menggunakan bahasa daerah, dan sedikit saja yang mampu berbahasa Belanda, hadirnya bahasa Indonesia (bahasa Melayu dialek Riau saat itu) menjadi sarana komunikasi yang paling mungkin untuk dapat menghubungkan etnis satu dengan etnis lain di kawasan Nusantara. Kebetulan, bahasa Melayu dialek Riau sudah menjadi LINGUA FRANCA bagi etnis di Nusantara untuk keperluan perdagangan.

Namun, dalam pertumbuhan dan perkembangannya, BI menghadapi banyak hambatan. Penjajah Belanda melarang pemakaian BI untuk pendidikan. Segala hal yang berurusan dengan pemerintahan harus dilakukan menggunakan bahasa Belanda. Karena kondisi seperti itu, sebagian masyarakat Indonesia pun berpikir jika ingin memiliki status sosial tinggi, dan daya saing ekonomi yang kuat harus menguasai bahasa Belanda. BI seakan tidak memiliki harapan untuk menjadi “priyayi”.

Seperti dikatakan diatas, lahirnya BI memang sudah kehendak zaman. Ketika belanda hengkang dari Indonesia dan berganti dengan datangnya “saudara tua” yang menjajah Indonesia, pemerintah jepang melarang pemakaian bahasa belanda. Pendidikan harus menggunakan bahasa pengantar BI.

Ketika itu, sebagian masyarakat Indonesia meragukan kemampuan bahasa Indonesia menjadi bahasa ilmu pengetahuan, termasuk kaum cendikiawannya. Namun, jepang mampu memaksakan orang Indonesia menggunakan bahasa Indonesia dan menjadikan BI semakin populer dan semakin diperhatikan pemakainya.

Lama-kelamaan, BI mampu membuktikan diri bahwa BI tidak kurang mutunya dibandingkan bahasa asing lainnya dan mengalami perkembangan sebagai bahasa yang hidup. Dan benar, apa yang dikatakan oleh Fishman (1990) bahwa tidak ada bahasa di muka bumi ini yang lebih baik atau lebih buruk dari bahasa lain bagi pemilik dan penutur bahasanya. Jika kadang BI belum mampu mengungkapkan pikiran yang rumit dan kompleks, bukan karena BI tidak mampu mewadahi pikiran yang rumit dan kompleks, tetapi karena ilmu pengetahuan dan teknologi belum berkembang dengan baik sehingga menjadi kelemahan BI yang merupakan cermin dari lemahnya ilmuwan Indonesia yang belum melakukan pengembangan.

BI telah berkembang menjadi bahasa besar sejajar dengan bahasa-bahasa besar lain di dunia. Hal ini dapat dilihat dari aspek internal dan aspek eksternal. Perkembangan aspek internal, BI sudah memiliki system dan kaidah yang mapan. BI sudah memiliki pedoman ejaan yang disempurnakan, tata bahasa baku, kamus besar BI, pedoman pembentukan istilah. Yang belum berhasil di bakukan adalah kaidah pelafalan kata. Fungsi BI juga semakin kokoh, baik sebagai alat komunikasi antar etnis dalam kehidupan sehari-hari, maupaun alat komunikasi formal untuk kepentingan kenegaraan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, pembuatan undang-undang dan sebagainya.

Perkembangan aspek eksternal, BI adalah bahasa yang terbuka. Artinya, BI mau dan mampu mengakomodasi kata, istilah, idiom dari bahasa lain (baik bahasa daerah maupun bahasa asing) untuk mengembangkan dirinya secara lebih luas. Fungsi BI secara eksternal juga telah menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Rasa ketertarikan bangsa lain untuk menggunakan BI semakin besar (meskipun mengalami pasang surut).

pasang surutnya ketertarikan bangsa lain untuk mempelajari dan menggunakan BI sebagai alat komunikasi internasional berkaitan erat dengan masalah politik, ekonomi, keamanan, dan kebudayaan.

1)      Masalah politik

Masalah politik mengakibatkan hubungan bangsa Indonesia dengan bangsa lain terganggu, misalnya hubungan Indonesia dan Australia mengalami pasang surut. Hubungan Indonesia – Australia pernah meregang ketika muncul masalah Timor Timur sampai terbentuknya Negara Timur Leste karena dukungan yang diberikan Australia terhadap pejuang Timur Leste untuk memisahkan diri dari Indonesia.

Begitu juga, hubungan Indonesia – Malaysia karena masalah batas wilayah (Simpadan dan Ligitan, masalah Ambalat), dan klaim Malaysia terhadap kesenian rakyat Indonesia.

2)      Masalah ekonomi

Masalah ekonomi juga menjadi salah satu penyebab pasang surutnya ketertarikan bangsa lain untuk mempelajari BI. Ketika perkembangan ekonomi Indonesia membaik, banyak bangsa lain yang ingin berinvestasi di Indonesia sehingga memerlukan BI sebagai alat komunikasi untuk melakukan transaksi bisnis. Pada saat itu minat belajar BI meningkat pesat, bahkan universitas di Negara maju banyak yang membuka jurusan BI.

Namun, ketika kondisi ekonomi Indonesia merosot, bangsa lain berfikir ulang “apa untungnya mempelajari BI?”. Akibat buruk perkembangan ekonomi tidak kondusif, banyak lembaga pembelajaran BI ditutup, karena tidak ada lagi peminat.

3)      Masalah keamanan

Keamanan merupakan factor penting mengapa bangsa lain tidak tertarik untuk mempelajari BI. Banyaknya terorisme yang terjadi di Indonesia dan mengancam keselamatan bangsa lain (khususnya Australia, Amerika, Inggris, Prancis, atau bangsa barat lainnya ) mengakibatkan muncul larangan bangsa lain terhadap warganya untuk mengunjungi Indonesia. Dengan demikian, bangsa lain yang ingin mempelajari BI menjadi berkurang.

4)      Masalah kebudayaan

Masalah budaya dapat menyebabkan bangsa lain tertarik untuk mempelajari BI. Karena Indonesia begitu banyak memiliki kekhasan budaya yang tersebar diberbagai etnis, seperti: bahasa, tari-tarian, kesenian, alat music, makanan, upacara adat, dan banyak lainnya. Hal seperti itulah yang cari oleh bangsa lain yang mulai jenuh dengan globalisasi.

Namun, usaha pelestarian bahasa dan budaya daerah tidak dilakukan secara serius. Mereka malah terkagum-kagum dengan budaya barat. Akibatnya, mereka banyak yang tidak tertarik datang ke Indonesia untuk mempelajari bahasa dan budaya karena bangsa Indonesia sendiri kurang menghargai budaya bangsanya sendiri.

b.      Permasalahan PBI

Ada dua aspek penting dalam pembelajaran BI, yaitu 1) siapa yang belajar, dan 2) bagaimana mengajarkannya.

1)      Siapa yang belajar?

Berkaitan dengan siapa yang belajar, pembelajar BI menyangkut dua pihak, yaitu warga Negara Indonesia dan warga negara asing. Warga Negara Indonesia sudah dipersiapkan mempelajari BI melalui pendidikan formal di sekolah. Kurikulum secara formal yang telah diterapkan di Indonesia untuk pendidikan ialah kurikulum 1968, 1975, 1984, 1994, dan KTSP 2006. Pada 2013 mulai menggunakan kurikulum baru yang disebut “Kurikulum 2013”.

Tidak sedikit warga Negara asing yang ingin menguasai BI. Mereka ada yang belajar BI di negerinya sendiri melalui lembaga pendidikan formal maupun lembaga kursus, dan ada pula yang secara langsung datang ke Indonesia untuk belajar di lembaga-lembaga kursus atau mengikuti pembelajaran di sekolah atau bahkan universitas.

Bagi mereka yang belajar BI melalui kursus biasanya mereka adalah pembelajar pemula yang ingin menguasai BI yang kemudian dimenfaatkan untuk mempelajari bidang ilmu tertentu atau bekerja di Indonesia. Dan ada juga yang mempelajari BI karena mereka ingin menguasai BI untuk jadi guru BI di negerinya.

2)      Bagaimana mengajarkan BI?

a.       Masalah pendekatan pembelajaran BI

Ada dua macam pendekatan penting dalam pembelajaran BI, yaitu pendekatan psikologis dan pendekatan linguistis.

Sejalan dengan perkembangan ilmu psikologi, pembelajaran BI dewasa ini memanfaatkan pendekatan psikologi konstuktivisme yang berasumsi bahwa setiap anak mampu mengkonstruksi kebenaran berdasarkan perkembangan pikirannya sendiri.

Atas dasar asumsi itu, peranan guru mulai bergeser dari sebagai “sebagai belajar” ke “fasilitator”. Ketiga sedang belajar ber- BI, anak diberi keleluasaan untuk belajar menggunakan BI dalam berbagai fungsi, seperti belajar menulis surat, menulis iklan; memperkenalkan diri dihadapan orang lain, berdiskusi, wawancara, berpidato, dan sebagainya. Guru tidak memaksakan kehendak agar anak mempelajari seperti yang diinginkan oleh guru. Guru lebih tepat jika pada awal proses pembelajaran menggunakan pendekatan psikologi behaviorisme (Skinner,1933). Skinner berasumsi bahwa kebiasaan berbahasa anak ditumbuhkan melalui proses stimulus-respons. Model rangsang-tanggap untuk memperbanyak kosakata dan struktur kalimat. Setelah itu bergeser ke pendekatan kognitif. Pendekatan kognitif (Piaget, 1959) berasumsi bahwa pembelajaran bahasa harus dilakukan atas dasar perkembangan kognisi pembelajar, ada 4 tahap yaitu: (a) masa sensori (b) masa praoprasional (c) masa oprasi kongkret (d) masa orasi formal. Setelah mahir ber-BI, guru mulai melakukan pendekatan konstruktivisme. Pembelajar secara perlahan di berikan kesempatan untuk membangun kebenaran  ber-BI berdasarkan perkembangan pemikiran mereka.

Pendekatan linguistic yang digunakan dalam pembelajaran BI adalah pendekatan komunikatif. Pendekatan komunikatif sebenanya berakar pada teori pragmatik dalam arti bahasa yang harus dipelajari adalah bahasa yang berguna atau bermanfaat. Bahasa yang berguna dan bermanfaat adlah bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Itulah hakikat pendekatan komunikatif.

b.      Masalah materi pembelajaran

Sesuai dengan pendekatan komunikatif yang digunakan, materi yang harus diajarkan adalah materi berkomunikasi dengan memperhatikan kaidah bahasa.

Dalam pemberian materi guru perlu melakukan seleksi atau pemilihan yang sesuai dengan perkembangan pikiran pembelajar. Materi dpat diambil dari berita surat kabar, label pada obat atau makanan, table-tabel, diagram, rekaman wawancara, dan sebagainya .

Setelah materi pembelajaran dipilih, guru harus melakukan perjenjangan (grading) materi. Seperti materi yang cocok untuk pembelajar pemula (elementary), menengah (intermediate), dan pembelajar advance (lanjut). Materi pembelajaran BI belum ada disusun berdasarkan perkembangan belajar pembelajar.

Buku-buku pembelajaran BI untuk SD materinya banyak yang sama dengan materi pembelajaran di SMP kadang-kadang diajarkan pula di SMA. Lebih tragis lagi, materi pembelajaran yang harusnya di berikan di SMA daiajarkan di SD.

Kondisi seperti itu (belum adanya penjenjangan materi), pembelajaran BI untuk orang asing akan sangat kesulitan untuk memanfaatkan buku pelajaran BI yang ada bagi penutur asli.

Solussi terbaiknya, penjenjangan materi harus ditulis terlebih dahulu sebelum menulis buku teks, baik untuk keterampilan menyimak, berbicara, membaca, maupun menulis. Misalanya, jumlah kosakata yang harus dikuasai oleh pembelajar SD, SMP, dan SMA untuk masing-masing keterampilan berbahasa. Dengan diketahuinya jumlah kosakatsa yang harus diketehui oleh pembelajar setiap jenjangnya dapat dipakai untuk membuat perjenjangan materi untuk aspek keterampilan berbahasa.

Penyajian materi pembelajaran dikelas juga harus mendapat perhatian khusus. Jika dalam penyajian materi di kelas peranan ideal guru 30% dan 70% pembelajar, tidak berarti setiap jenjang harus begitu. Untuk pembelajar SMA sebaiknya peranan guru di kelas cukup 30% dan aktifitas belajar pembelajar 70%. Sebaliknya, tidak untuk SD atau level elementary, yang membutuhkan peranan guru lebih besar.

c.       Masalah metode pembelajaran

Pemebelajaran BI sudah menerapkan metode belajar kreatif. Artinya, pembelajar diberi kesempatan seluas-luasnya agar dapat berkreasi dalam belajar. Pada tahap awal guru perlu memberikan model pembelajaran. Jika dengan model seperti itu pembelajar sudah mampu belajar dengan baik, guru dapat meningkatkan model pembelajaran yang lebih rumit.

d.      Masalah media pembelajaran BI

Di era globalisasi ini, perkembangan teknologi informasi sudah sangat maju. Dengan adanya media informasi, pembelajaran BI dapat memanfaatkan teknologi tersebut sebagai media pembelajaran. Menggunakan multimedia sebagai alat pembelajar sangat menyenangkan dan tidak membuat tertekan, karena dapat belajar serta bermain.

Bagi guru yang belum mampu menciptakan media yang bersifat audiovisual, dapat memanfaatkan rekaman TV atau mengunduh dari internet. Namun, harus disadari bahwa multimedia belum mampu dijangkau oleh seluruh rakyat Indonesia. Masih banyak wilayah yang belum memiliki fasilitas listrik, internet, dan computer sehingga sulit untuk diterapkan.

Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut konteks sosial budaya dapat dimanfaatkan.  Contohnya “tokoh wayang kulit”, walaupun seperti itu tidak perlu merasa terbelakang karena yang paling penting adalah keberhasilan belajar pembelajar.


sumber: Pranowo. 2014. Teori Belajar Bahasa untuk Guru Bahasa dan Mahasiswa Jurusan Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

"Assalamualaikum .... terima kasih sudah mampir di blog saya. salam kenal, ini postingan pertama saya mohon maaf kalau banyak salah karna harus lebih banyak belajar."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEMBACA KRITIS DAN KREATIF